Sabtu, 07 Februari 2009

“ORANG BATAK dan HARGA BBM NAIK”.

Tambah banyak SIHOTANG
Karena PANDAPOTAN terus MANURUNG!
SAGALA Mahal
TAMBUNAN kehidupan berat
SIAMANJORANG miskin dan kaya makin BARASA
Tipis HARAHAP

Rakyat miskin sudah PANGARIBUAN
Anak-anak nangis MARPAUNG-PAUNG
Otak sudah SITOMPUL
Tapi masih diminta sabar SITORUS!

Keadaan makin GINTING
Kepala pusing ber BUTAR-BUTAR
Rambut nyaris POLTAK
Sementara ada orang yang SIBARANI TAMBUNAN Minyak

Apa karena ke SILABAN Pemimpin Kita?
Sehingga berani SIMORANGKIR janjinya?

Tapi jangan SEMBIRING Menuduh?
Mungkin karena kurang HUTAGAOL?
Atau karena tekanan si HUTABARAT?

Oleh karena itu
Kita jangan saling SILALAHI satu satu sama lain
Saling ber NAINGGOLAN sesama anak bangsa
Atau saling ber OLOAN-OLOAN antar Kita!
Atau ber SITANGGANG dengan sesama

Saudara!
Kita harus SIADARI
Bangsa ini ada di pinggir TOBING
POHAN-POHAN banyak ditebangin
Membuat hutan-hutan Kita GIRSANG
BATUBARA Kita diambilin…
PULUNGAN Trilyun ilang dilaut.

Kita butuh pemimpin yang Punya fikiran SIREGAR !
Kita harus PARAPAT Barisan !
Kita harus SIAGIAN!

Karena itu
Kita harus PANJAITAN Doa
Minta PARLINDUNGAN Tuhan
Agar selamat dan hidup ARITONANG

Jangan Kita SIAHAAN-SIAHAAN kesempatan
Kita harus ber SITINJAK dari sekarang!!!

Jangan hiraukan kata-kata SITUMORANG-SITUMORA NG!
Kita harus jadi bangsa yang TOGAR
Kita harus jadi bangsa yang SIBARANI !
SIMANGUNSONG masa depan

KABAN??? BUTEET DAH !!

Jadi KeSITOMPULANnya

HORAS BAH (Tidak Ada BeRAS makan gaBAH!)
Susah Bensin Yaa Jalan Kaki (SBYJK)…!
Sumber: BlogBerita.Net

Pendekar Wanita dari Tanah Batak

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pendekar wanita, Butet. Sebelum lulus dari Pandapotan silat, ia harus menempuh ujian. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke gunung dan berlatih. Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat.

Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan gayanya yang Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.

Naibaho ikan gurame yang dibakar dengan Batubara membuatnya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan.

Ternyata jalan kesana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan. Kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa di antaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.

Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar, “Wow, Siregar sekali hawanya.” Berbeda dengan kampungnya yang Panggabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang, warna hijau semuanya. Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun. Tampak di seberang, lautan dan ikan Lumban-lumban.

Terbawa suasana, mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang ditemukannya hanyalah bekas kolam ikan yang akan di-Hutauruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja, yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiur melambai kayak di pantai.

Sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ular yang sangat besar. “Sinaga!” teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar.

Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan. Tabib tergopoh-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan. “Hm, biayanya Pangaribuan,” kata sang tabib setelah memeriksa sejenak.

“Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?” tawar si Butet.

“Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil”.

“Jangan begitulah. Masa’ tidak Siahaan melihat bibir saya begini?” Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan?”

“Baiklah, tapi pakai jarum yang Sitompul saja,” sahut sang mantri agak kesal.

“Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit tidak apa-apalah.”

Malamnya, ketika sedang asyik-asyiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-Bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara di semak-semak dan tiba-tiba berbunyi “Poltak!” keras sekali.

“Ada Situmorang?” tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan. Terdengar suara pelan, “Situmeangggg”.

“Sialan, cuma kucing,” desahnya lega. Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen.

Selesai berlatih, Butet pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu dimana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat.

Keesokan harinya, Butet kembali ke Pandapotan. Di depan ruang ujian dia membaca tulisan: “Harahap tenang! Ada ujian.”

“Wah telat, emang udah jam Silaban sih”. Maka Siboro-boro dia masuk ke ruangan sambil menyanyi-nyanyi. Di-Tigorlah dia sama gurunya, ”Butet, kau jangan Siringo-ringo ribut! Bikin kacau konsentrasi temanmu.”

Butet dengan tanpa Malau-Malau langsung Sijabat tangan gurunnya, “Nggak Pakpahan guru? Sekali-sekali.”

Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejangan guru Pandapotan-nya untuk selalu “Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!”

Sumber: emonkumis.multiply.com